Wednesday, October 2, 2013

Dana Pengukuhan Wali Dikecam

BANDA ACEH - Usulan dana Rp 50 miliar untuk acara pengukuhanWali Nanggroe sebagaimana disampaikan Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah menuai kecaman dari berbagai kalangan. Hampir semua kalangan yang memberikan tanggapan menilai usulan itu tidak masuk akal dan menciderai rasa keadilan masyarakat Aceh sehingga harus dipertimbangkan.

Tokoh masyarakat Abdya, Sayed Marwan Saleh menilai usulan anggaran untuk pengukuhan Wali Nanggroe IX yang jumlahnya mencapai Rp 50 miliar adalah sangat berlebihan dan melukai hati rakyat Aceh.
“Mengutip argumen Adnan Beuransyah (Ketua Komisi A DPRA) yang mengatakan anggaran maksimal yang diusulkan itu bukan semata untuk seremonial pengukuhan, tetapi sekaligus mengangkat harkat dan martabat masyarakat Aceh, saya sepertinya tidak bisa memahami bagaimana bisa mengangkat harkat dan martabat masyarakat Aceh kalau dana Rp 50 miliar untuk pengukuhan wali,” tandas Sayed Marwan Saleh yang juga salah seorang ulama di Abdya.
Lain lagi pernyataan Pengurus Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta. “Bila Gubernur Aceh menyetujui angka itu, maka dapat menciderai rasa keadilan. Rakyat sedang krisis, sementara elite suka-suka,” kata Wakil Ketua IMPAS, Zulfikar di Jakarta, Selasa (1/10).
IMPAS menyatakan keberatan atas inisiatif Adnan Beuransyah, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh yang mengusulkan Rp 50 miliar untuk pengukuhan Wali Nanggroe yang dijadwalkan Desember tahun ini. “Bila usulan itu disetujui gubernur, maka sepatutnya rakyat Aceh menuntut janji Zaini-Muzakir ketika kampanye. Penuhi janji Rp 1 juta/KK/bulan, itu janji, rakyat jangan terus dibodohi,” tandas Zulfikar.
Suara penolakan juga disampaikan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Aceh. “Sungguh menyayat hati, ketika Aceh Tengah dan Bener Meriah sedang berduka akibat bencana gempa, Pemerintah Aceh lebih peduli mempersiapkan kepentingan Wali Nanggroe yang hingga hari ini qanun tersebut belum juga disetujui seluruh masyarakat Aceh dan Pemerintah Pusat,” kata Aramiko, aktivis GMNI Aceh Tengah didampingi sejumlah rekannya.
Masih dari Aceh Tengah, politisi PKS, Bardan Sahidi juga angkat bicara. Dengan kalimat menyindir, Bardan menulis, “Kami hanya minta Rp 5 juta dari Rp 50 miliar itu untuk ongkos jalan tiga pasien kusta dari Pegasing dan Jagong Jeget yang akan dirujuk ke RS Kusta Depkes RI di Pekan Baru. Kami meminta karena katanya dana Rp 50 miliar itu juga untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Aceh. Ketiga pasien kusta itu adalah Samsul Bahri (48) dan istrinya asal Bireun yang bermukim di Kampung Wih Ilang serta Rohana (19) dari Kampung Berawang Dewal, Jagong Jeget.”
Solidaritas Mahasiswa Peduli Aceh (SMaPA) juga mengecam keras usulan Rp 50 miliar dari RAPBA-P 2013 untuk pengukuhan Wali Nanggroe IX. “Usulan itu sangat menyakitkan hati rakyat Aceh khususnya masyarakat ABAS dan ALA yang masih banyak hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Koordinator Kajian dan Analisis SMaPA, Jamaluddin di Tapaktuan, Rabu (2/10).
Tanggapan juga diterima Serambi dari Badan Ekesekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. “Kami menilai (usulan Rp 50 miliar untuk pengukuhan Wali Nanggroe) merupakan pemborosan uang negara. Apa lagi masih banyak masyarakat Aceh yang hidup di bawah garis kemiskinan,” kata Gubernur Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Muhammad Sufri.
Sejumlah politisi nasional asal Aceh, di antaranya Dr Ahmad Farhan Hamid, Wakil Ketua MPR RI yang juga anggota DPD RI mengaku kaget dengan usulan dana Rp 50 miliar untuk pengukuhan Wali Nanggroe.
Sebagai orang yang terlibat dalam upaya perdamaian Aceh, baik dalam CoHA di Jenewa (2002) dan MoU Helsinki di Finlandia (2005) maupun dalam pembentukan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Farhan Hamid mengutarakan berbagai pandangan kritisnya tentang Wali Nanggroe dalam perbincangan dengan Serambi di kantornya, Gedung MPR/DPR Jakarta, Rabu (2/10).
Ketika ditanyakan apakah pantas Aceh sebagai sebuah daerah dengan tingkat kemiskinan yang begitu tinggi menghabiskan uang begitu besar untuk upacara seremonial yang tidak jelas keuntungannya buat daerah dan masyarakat, Farhan menjawab, “Saya pikir itu usulan liar, tidak masuk akal. Lagi pula saya mengenal lumayan dekat dengan Teungku Malik Mahmud dan dokter Zaini Abdullah, keduanya merupakan tokoh yang amat sangat sederhana. Saya tidak yakin kedua tokoh ini mendukung atau mengusulkan hal-hal yang mengarah ke pemborosan itu.
Mereka selalu mencari jalan untuk kesejahteraan rakyat. Meski tidak begitu akrab, namun kedua tokoh ini saya kenal sejak perundingan Jenewa, 2002; lalu perundingan Helsinki, 2005; serta setelah mendapat kepercayaan rakyat untuk Zaini Abdullah sebagai Gubernur Aceh. Menurut saya, keduanya sama sekali tidak tergambar mau dan berniat untuk bermewah-mewah dan menghamburkan uang.”
Farhan melanjutkan, “Saya yakin itu usulan liar. Saya pernah beberapa kali singgah di mes yang sempat dipakai bersama oleh Teungku Malik dan dokter Zaini Abdullah di kawasan Geuceu, Banda Aceh. Malah sampai sekarang Tgk Malik Mahmud masih tinggal di sana. Saya masuk ke kamar tidurnya, AC pun tidak ada, kamar mandinya sangat tidak layak, beliau tidak mengeluh, hingga ada teman saya memberi donasi untuk membeli sebuah AC. Teungku Malik juga pernah mengeluh tentang pembangunan Meuligoe Wali Nanggroe oleh Gubernur Irwandi yang dinilai terlalu besar dan mewah. Dalam banyak pertemuan saya menyaksikan Teungku Malik berpakaian seadanya, sering dengan baju lengan pendek. Pesan yang saya tangkap, ciri islami itu, ya sederhana.”
Pada bagian akhir keterangannya, Farhan mengaku tidak tahu, apakah kewenangan pengukuhan Wali Nanggroe ada pada DPRA atau pihak eksekutif. “Saya belum mendalami Qanun WN. Boleh saja menyampaikan pandangan dan usulan, tetapi mesti diukur dengan hati yang jernih,” demikian Farhan Hamid.
Dewan Pimpinan Pusat-Gerakan Intelektual Se-Aceh (DPP-GISA) menyampaikan pernyataan sikap terkait usulan Rp 50 miliar untuk pengkuhan Wali Nanggroe IX sebagaimana disampaikan Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah.
Terkait itu, DPP-GISA mengharapkan kepada DPRA agar mempertimbangkan secara matang usulan anggaran Rp 50 miliar tersebut karena GISA memandang angka tersebut sangat besar dengan melihat kondisi masyarakat Aceh yang secara umum masih belum merasakan hidup sejahtera. “Kalau hal ini diwujudkan (usulan diterima) maka akan semakin besar melahirkan polemik di kemudian hari. Bahkan hal ini akan berimbas negatif terhadap Wali Nanggroe itu sendiri,” tulis Ketua I DPP-GISA, Tgk Fadhli Al Dina SSos.I dalam siaran pers-nya yang diterima Serambi, Rabu kemarin.
DPP-GISA memandang pengukuhan Lembaga Wali Naggroe sangat penting dilakukan namun membutuhkan kajian mendalam bagaimana seremonial itu dilakukan, tidak menghambur-hamburkan uang rakyat tapi memiliki manfaat besar untuk rakyat. Bagaimana agar seremonial ini dilakukan secara sederhana dari segi dana tetapi memiliki kesakralan yang mendalam.
DPP-GISA mengusulkan agar Lembaga Wali Nanggroe segera membuktikan manfaat dan kinerjanya untuk kepentingan rakyat. “Kalau rakyat sudah bersimpati, jangankan anggaran daerah Rp 50 miliar, kami yakin rakyat siap menyumbang Rp 100.000 per KK untuk pengukuhan Wali Nanggroe,” demikian DPP-GISA.

0 comments:

Post a Comment